Zona Subduksi Sumber Gempa Terbesar di Dunia

Zona Subduksi: Sumber Gempa Terbesar di Dunia

Zona subduksi adalah tempat pertemuan dua lempeng tektonik di mana salah satu lempeng menyusup ke bawah lempeng lainnya dan masuk ke dalam mantel bumi. Ini adalah bagian dari dinamika bumi yang luar biasa dan seringkali tersembunyi jauh di bawah permukaan laut. Bayangkan bumi sebagai puzzle raksasa yang terdiri dari potongan-potongan besar—itulah lempeng tektonik. Saat dua potongan ini bertemu dan salah satunya lebih berat atau lebih padat, maka ia akan menyelusup ke bawah yang lainnya.

Zona ini merupakan sumber dari sebagian besar gempa bumi besar dan letusan gunung berapi yang kita kenal. Mengapa? Karena proses subduksi melibatkan tekanan dan gesekan luar biasa. Ketika lempeng yang menyelusup akhirnya “tersangkut” dan tidak bisa melaju mulus, tekanan terus menumpuk sampai akhirnya melepaskan energi dalam bentuk gempa bumi.

Contohnya, zona subduksi di wilayah Indonesia terjadi di sepanjang batas antara Lempeng Indo-Australia dan Eurasia. Di sinilah potensi gempa besar bahkan tsunami sangat tinggi. Wilayah ini memiliki sejarah panjang bencana yang mengerikan, mulai dari Aceh hingga Mentawai.

Fakta menarik lainnya adalah bahwa zona subduksi juga menciptakan fitur geologi seperti palung laut yang dalam dan gunung api aktif. Sebagai contoh, Palung Mariana di Samudera Pasifik adalah palung laut terdalam di dunia dan terbentuk akibat proses subduksi.

Zona Subduksi Sumber Gempa Terbesar di Dunia
Zona Subduksi Sumber Gempa Terbesar di Dunia

Mengapa Zona Subduksi Penting untuk Dipahami?

Memahami zona subduksi bukan sekadar untuk ilmu pengetahuan saja, tapi juga menyangkut keselamatan hidup manusia. Wilayah yang terletak di atas zona subduksi adalah rumah bagi jutaan, bahkan miliaran orang di dunia. Termasuk kita di Indonesia.

Pentingnya memahami zona ini bisa diibaratkan seperti mengetahui kondisi ban kendaraan sebelum berkendara jauh—kalau kita tahu potensi bahayanya, kita bisa lebih siap menghadapi risikonya. Dengan pengetahuan yang cukup, kita bisa menyusun strategi mitigasi bencana yang lebih baik, mulai dari sistem peringatan dini hingga tata ruang wilayah.

Di sisi lain, zona subduksi juga menyimpan potensi sumber daya alam, seperti minyak, gas, dan mineral yang terperangkap dalam cekungan sedimen. Namun, eksplorasi di wilayah ini memiliki tantangan tinggi karena medan yang ekstrem dan risiko gempa. Jadi, memahami zona subduksi tidak hanya soal bencana, tapi juga tentang peluang dan tantangan. Baik dari sisi geologi, ekonomi, hingga kemanusiaan.

Proses Terjadinya Zona Subduksi

Interaksi Lempeng Tektonik

Lempeng tektonik adalah potongan besar kerak bumi yang bergerak sangat lambat—sekitar beberapa sentimeter per tahun. Tapi gerakan kecil ini punya dampak besar, terutama saat dua lempeng bertemu. Dalam zona subduksi, biasanya lempeng samudra yang lebih tipis dan berat akan menyusup ke bawah lempeng benua yang lebih ringan.

Bayangkan dua potongan karton yang ditekan bersamaan—yang satu melengkung ke atas, yang lainnya tertekan ke bawah. Begitu juga proses subduksi. Tekanan dari dua sisi menciptakan area “zona lemah” di mana aktivitas geologis yang sangat kompleks terjadi.

Di sinilah banyak energi disimpan selama bertahun-tahun. Sampai pada titik tertentu, lempeng yang menyusup tergelincir tiba-tiba, dan melepaskan energi luar biasa—itulah yang kita rasakan sebagai gempa bumi. Proses ini tidak terlihat di permukaan, tetapi efeknya bisa sangat mematikan.

Yang menarik, proses ini juga menciptakan zona vulkanik di atasnya. Karena ketika lempeng menyelusup ke mantel bumi, ia meleleh sebagian dan menghasilkan magma yang kemudian naik ke permukaan. Inilah alasan mengapa banyak gunung api berada di sepanjang zona subduksi.

Peran Litosfer dan Astenosfer dalam Subduksi

Litosfer adalah lapisan terluar dari bumi yang kaku dan terdiri dari kerak serta bagian atas mantel. Di bawahnya ada astenosfer—lapisan yang lebih lunak dan plastis yang memungkinkan lempeng-lempeng bergerak. Interaksi antara keduanya memainkan peran utama dalam pembentukan zona subduksi.

Ketika lempeng samudra yang padat dan dingin bergerak di atas astenosfer, ia akhirnya melengkung ke bawah dan menyelusup ke dalam mantel. Karena litosfer bersifat kaku, ia tidak mudah melengkung tanpa tekanan yang besar—itulah sebabnya proses ini menyebabkan akumulasi energi dan gempa bumi besar.

Astenosfer yang lebih lunak memberikan “jalur” bagi lempeng untuk menyusup. Tapi ketika ada rintangan atau ketidakteraturan, maka gesekan dan tekanan akan meningkat. Fenomena ini menjelaskan mengapa beberapa zona subduksi lebih aktif secara seismik dibanding yang lain.

Dengan memahami hubungan antara litosfer dan astenosfer, para ahli geologi bisa memperkirakan potensi bahaya di suatu wilayah. Kombinasi analisis data seismik, GPS, dan pemodelan komputer bisa membantu kita melihat bagaimana bumi bergerak dan kapan kemungkinan besar akan “melepaskan” tekanannya.

Zona Subduksi dan Aktivitas Seismik

Mengapa Gempa Bumi Sering Terjadi di Zona Ini

Zona subduksi merupakan salah satu wilayah paling aktif secara seismik di bumi. Ini karena dua lempeng tektonik besar tidak hanya bersentuhan, tapi juga saling mendorong dan menyusup satu sama lain. Dalam proses ini, terbentuk tekanan yang sangat besar dari waktu ke waktu. Ketika tekanan ini tidak bisa lagi ditahan oleh batuan di lempeng, maka energi dilepaskan dalam bentuk gempa bumi.

Coba bayangkan dua papan besar yang ditekan dari dua sisi berlawanan. Awalnya, papan tersebut mungkin tidak bergerak, tetapi tekanan terus menumpuk. Suatu saat, papan akan retak atau bergerak tiba-tiba—itulah yang terjadi di bawah tanah dalam bentuk gempa. Proses ini bisa berlangsung selama puluhan hingga ratusan tahun, sebelum energi dilepaskan dalam satu kejadian gempa yang sangat kuat.

Tak hanya itu, zona subduksi juga menciptakan jenis gempa yang disebut megathrust earthquake. Gempa ini terjadi di sepanjang bidang kontak antara dua lempeng—bidang yang bisa membentang ratusan hingga ribuan kilometer. Ketika bidang ini bergeser, guncangan bisa sangat besar dan merambat dalam waktu singkat, memicu tsunami mematikan seperti yang terjadi di Aceh tahun 2004.

Zona-zona seperti ini sangat aktif karena gerakannya bersifat konvergen, berbeda dengan zona sesar seperti San Andreas di California yang cenderung geser menyamping. Konvergensi dua lempeng menyebabkan tumpukan energi jauh lebih besar dan dalam.

Gempa Megathrust: Fenomena dari Zona Subduksi

Gempa megathrust adalah salah satu jenis gempa paling mematikan yang terjadi di zona subduksi. Nama “megathrust” sendiri menunjukkan kekuatan luar biasa yang terlibat dalam peristiwa ini. Gempa jenis ini terjadi ketika bidang kontak antara dua lempeng menyentak secara tiba-tiba, melepaskan energi yang terkumpul selama ratusan tahun.

Gempa-gempa besar yang menimbulkan tsunami umumnya berasal dari tipe ini. Misalnya, gempa Tohoku tahun 2011 dan gempa Aceh 2004 adalah contoh megathrust earthquake. Kedua peristiwa tersebut menelan ratusan ribu korban jiwa dan menyebabkan kerusakan masif dalam waktu singkat.

Apa yang membuat megathrust begitu mematikan? Pertama, kedalamannya relatif dangkal—biasanya di bawah 70 km dari permukaan bumi, sehingga gelombang seismiknya lebih kuat saat mencapai permukaan. Kedua, area patahannya sangat luas, sering kali mencakup ratusan kilometer, sehingga skala getarannya juga lebih besar.

Gempa megathrust juga sangat sulit diprediksi. Meskipun kita bisa melihat pola sejarah gempa, namun tidak ada cara yang pasti untuk menentukan kapan lempeng akan “tersentak”. Oleh karena itu, penting untuk memiliki sistem mitigasi bencana yang tanggap dan masyarakat yang siap siaga, terutama di wilayah zona subduksi aktif seperti Indonesia dan Jepang

Zona Subduksi Terbesar di Dunia

Cincin Api Pasifik

Cincin Api Pasifik (Pacific Ring of Fire) adalah sabuk zona subduksi yang mengelilingi Samudera Pasifik. Zona ini merupakan rumah bagi lebih dari 75% gunung berapi aktif di dunia dan menjadi sumber sekitar 90% gempa bumi global. Dari Alaska di utara hingga Selandia Baru di selatan, dari Jepang ke Amerika Selatan—semuanya adalah bagian dari lingkaran ini.

Mengapa disebut “cincin api”? Karena wilayah ini seperti melingkari Samudera Pasifik dengan serangkaian gunung api aktif, letusan lava, serta aktivitas seismik intens. Ini adalah hasil dari interaksi lempeng-lempeng besar seperti Lempeng Pasifik, Lempeng Amerika Utara, Lempeng Nazca, dan Lempeng Filipina.

Negara-negara di sepanjang Cincin Api Pasifik seperti Jepang, Indonesia, Chili, dan Meksiko sangat rentan terhadap bencana geologis. Bencana seperti tsunami Jepang 2011, letusan Gunung Pinatubo di Filipina, dan gempa besar di Chili semuanya berasal dari aktivitas zona subduksi di cincin ini.

Cincin Api bukan hanya ancaman, tapi juga berkah. Aktivitas subduksi menciptakan tanah yang subur, sumber daya panas bumi, dan mineral yang bernilai tinggi. Namun, potensi bencana tetap harus jadi perhatian utama bagi negara-negara yang berada di dalam zona ini.

Zona Subduksi Sunda

Zona Subduksi Sunda terletak di sepanjang pantai barat Sumatra hingga ke selatan Jawa dan Nusa Tenggara. Ini adalah salah satu zona subduksi paling aktif dan berbahaya di dunia, karena menjadi titik pertemuan antara Lempeng Indo-Australia yang bergerak ke utara dan Lempeng Eurasia yang relatif diam.

Wilayah ini telah menghasilkan sejumlah gempa besar sepanjang sejarah. Salah satu yang paling terkenal adalah gempa dan tsunami Aceh 2004, yang menewaskan lebih dari 230.000 orang di beberapa negara. Selain itu, ada juga gempa Mentawai, gempa Bengkulu, dan gempa Palu (yang meskipun berasal dari sesar, dipicu aktivitas tektonik yang kompleks).

Zona Subduksi Sunda sangat kompleks karena juga dipengaruhi oleh cabang sesar lokal dan deformasi kerak bumi yang tidak seragam. Hal ini menyebabkan aktivitas seismik di wilayah ini lebih sulit diprediksi dibandingkan zona subduksi lainnya.

Selain gempa, zona ini juga memunculkan banyak gunung api aktif, termasuk Gunung Merapi, Gunung Semeru, dan Gunung Agung. Letusan-letusan ini sering kali dihubungkan dengan naiknya magma akibat proses subduksi.

Indonesia perlu terus memperkuat riset, pemantauan, dan kesiapsiagaan di sepanjang zona ini karena potensi gempa besar masih terus menghantui. Meskipun kita tak bisa menghentikan gerak lempeng bumi, kita bisa mempersiapkan diri untuk mengurangi dampaknya.

Studi Kasus: Gempa Dahsyat Akibat Subduksi

Gempa dan Tsunami Aceh 2004

Gempa bumi Aceh yang terjadi pada 26 Desember 2004 adalah salah satu bencana alam paling mematikan dalam sejarah modern. Dengan kekuatan 9,1–9,3 Mw, gempa ini terjadi akibat subduksi Lempeng Indo-Australia di bawah Lempeng Eurasia di Zona Subduksi Sunda.

Gempa tersebut berlangsung sekitar 8-10 menit, yang luar biasa lama untuk ukuran gempa bumi. Ini menandakan patahan yang terjadi sangat besar, dengan panjang area patahan mencapai lebih dari 1.200 kilometer. Akibatnya, dasar laut terangkat secara masif dan memicu tsunami besar yang menghantam pesisir barat Sumatra dan menyebar hingga ke Sri Lanka, India, Thailand, dan bahkan Afrika Timur.

Tsunami ini menewaskan lebih dari 230.000 orang dan membuat jutaan lainnya kehilangan rumah, pekerjaan, dan keluarga. Salah satu alasan dampaknya begitu besar adalah karena minimnya sistem peringatan dini dan kurangnya pemahaman masyarakat tentang tanda-tanda tsunami.

Peristiwa ini menjadi titik balik penting dalam pengembangan sistem peringatan dini tsunami di Samudera Hindia. Setelah itu, Indonesia dan negara-negara lain mulai membangun jaringan sensor gempa dan pelampung laut (buoy) untuk mendeteksi potensi tsunami sejak dini.

Gempa Tohoku Jepang 2011

Gempa bumi Tohoku yang mengguncang Jepang pada 11 Maret 2011 adalah salah satu contoh paling dramatis dari dampak destruktif gempa subduksi. Gempa berkekuatan 9,0 Mw ini berasal dari zona subduksi di lepas pantai timur Jepang, di mana Lempeng Pasifik menyusup ke bawah Lempeng Amerika Utara.

Gempa ini menyebabkan tsunami dahsyat dengan ketinggian gelombang mencapai 40 meter yang meluluhlantakkan kota-kota pesisir seperti Sendai dan menewaskan lebih dari 20.000 orang. Tapi bencana ini tak berhenti sampai di situ. Tsunami juga merusak pembangkit listrik tenaga nuklir Fukushima Daiichi, menyebabkan kebocoran radiasi besar-besaran yang hingga kini masih memiliki dampak jangka panjang.

Tohoku menjadi pengingat global bahwa bahkan negara se-tersiap Jepang pun tidak bisa sepenuhnya menghindari risiko dari zona subduksi. Namun, sistem peringatan dini dan infrastruktur tangguh Jepang secara signifikan mengurangi jumlah korban jiwa yang bisa saja jauh lebih besar.

Dari peristiwa ini, dunia belajar pentingnya integrasi sistem pemantauan gempa, teknologi evakuasi cepat, serta kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana. Jepang juga meningkatkan pembangunan bendungan tsunami dan jalur evakuasi yang lebih efektif di wilayah pesisir setelah tragedi tersebut.

Risiko dan Dampak Sosial Ekonomi

Kerusakan Infrastruktur dan Lingkungan

Gempa bumi dari zona subduksi sering kali menyebabkan kerusakan infrastruktur yang masif. Jalan raya retak, jembatan runtuh, rel kereta bengkok, dan bangunan ambruk adalah pemandangan umum pasca-gempa besar. Tapi kerusakan tidak berhenti di situ. Gempa juga bisa memicu tanah longsor, likuifaksi (tanah berubah menjadi lumpur), serta kebakaran akibat gangguan saluran gas dan listrik.

Kerugian ekonominya bisa mencapai miliaran hingga triliunan rupiah. Contohnya, kerusakan akibat gempa Tohoku diperkirakan menelan biaya lebih dari 235 miliar dolar AS, menjadikannya salah satu bencana paling mahal dalam sejarah. Di Indonesia, gempa Lombok dan Palu juga menyebabkan kerugian besar yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi daerah selama bertahun-tahun.

Lingkungan pun tak luput dari dampak. Terumbu karang rusak akibat tsunami, garis pantai berubah, dan ekosistem pesisir terganggu. Selain itu, tumpahan bahan kimia dan limbah dari pabrik atau tangki industri bisa mencemari tanah dan air.

Dampak Terhadap Kehidupan Manusia

Lebih dari sekadar angka kematian, gempa dari zona subduksi membawa dampak sosial yang mendalam. Banyak keluarga kehilangan tempat tinggal, mata pencaharian, bahkan anggota keluarga. Anak-anak kehilangan sekolah, dan trauma psikologis menjadi beban yang sulit dihapus.

Pemulihan pasca-gempa adalah proses panjang yang melibatkan tidak hanya rekonstruksi fisik, tapi juga pemulihan mental dan sosial. Kamp-kamp pengungsian yang penuh, layanan kesehatan yang terbatas, dan sulitnya distribusi bantuan adalah tantangan nyata di lapangan.

Kehidupan masyarakat yang tinggal di wilayah rawan gempa menjadi sangat tergantung pada kemampuan negara dalam menanggulangi bencana. Tanpa kesiapsiagaan dan dukungan yang cukup, gempa bisa memperbesar ketimpangan sosial dan memperburuk kemiskinan.

Teknologi untuk Mendeteksi dan Memprediksi Gempa

Sistem Peringatan Dini Tsunami

Setelah bencana Aceh 2004, sistem peringatan dini tsunami menjadi prioritas utama di kawasan rawan subduksi. Sistem ini melibatkan jaringan sensor seismik, buoy laut, GPS, dan komunikasi satelit yang dapat mendeteksi gempa bawah laut dan mengukur perubahan permukaan laut secara real-time.

Ketika sistem ini mendeteksi adanya potensi tsunami, informasi langsung dikirim ke pusat peringatan yang akan menyebarkan sinyal evakuasi melalui sirine, SMS, hingga siaran radio dan TV. Beberapa negara juga menggunakan aplikasi seluler dan media sosial untuk mempercepat penyebaran informasi.

Meski efektif, sistem ini tetap memiliki tantangan, seperti keterbatasan sinyal di daerah terpencil, kerusakan alat akibat cuaca ekstrem, atau keterlambatan respons manusia. Oleh karena itu, edukasi dan latihan simulasi bencana tetap menjadi kunci keberhasilan sistem ini.

Perkembangan Teknologi Seismologi

Ilmu seismologi berkembang pesat seiring kemajuan teknologi. Kini, ilmuwan bisa menggunakan superkomputer untuk memodelkan pergerakan lempeng bumi secara rinci. Data dari ribuan sensor seismik di seluruh dunia dikumpulkan dan dianalisis untuk memperkirakan potensi gempa besar berikutnya.

Teknologi seperti GPS presisi tinggi memungkinkan deteksi pergerakan lempeng hanya dalam skala milimeter. Selain itu, penggunaan drone dan satelit mempercepat pengumpulan data di area sulit dijangkau, seperti dasar laut atau pegunungan.

Baru-baru ini, pengembangan kecerdasan buatan (AI) juga mulai diterapkan untuk mengenali pola-pola gempa kecil yang bisa menjadi pertanda awal pergeseran besar. Meskipun prediksi gempa masih jauh dari sempurna, kombinasi teknologi ini membuat kita semakin dekat ke arah peringatan dini yang lebih presisi.

Perbandingan Zona Subduksi vs Zona Sesar

Perbedaan Mekanisme

Zona subduksi dan zona sesar adalah dua jenis batas lempeng tektonik yang menyebabkan gempa, namun dengan mekanisme berbeda. Di zona subduksi, lempeng samudra menyusup ke bawah lempeng benua. Di zona sesar, dua lempeng bergerak sejajar atau menyamping satu sama lain.

Gempa dari zona subduksi biasanya lebih besar dan bisa memicu tsunami karena terjadi di dasar laut. Sementara itu, gempa di zona sesar lebih dangkal dan berdampak lokal, tapi tetap bisa sangat mematikan jika terjadi dekat permukiman padat.

Contoh zona subduksi: Palung Jawa, zona subduksi Chile. Contoh zona sesar: Sesar San Andreas di California, Sesar Lembang di Jawa Barat.

Dampak Gempa dari Keduanya

Gempa dari zona subduksi memiliki cakupan kerusakan yang luas, bisa meliputi beberapa negara dalam satu kejadian. Gempa ini juga punya potensi tsunami yang sangat besar, seperti yang terjadi di Aceh dan Jepang.

Sementara itu, gempa sesar seperti di Palu (2018) meskipun tidak sebesar gempa megathrust, tetap menimbulkan kerusakan masif karena terjadi sangat dangkal dan dekat permukiman. Bahkan tsunami bisa terjadi akibat longsoran atau retakan dasar laut meskipun bukan dari subduksi. Kedua jenis zona ini memerlukan pendekatan mitigasi yang berbeda sesuai karakteristiknya.

Fakta Unik tentang Zona Subduksi

Kedalaman Subduksi

Zona subduksi tidak hanya terjadi di permukaan atau di kedalaman beberapa kilometer saja. Beberapa zona subduksi bisa mencapai ratusan kilometer ke dalam bumi. Lempeng yang menyelusup terus bergerak hingga mencapai mantel bawah bumi.

Ilmuwan bahkan telah menemukan bukti lempeng-lempeng lama yang “terkubur” di dalam mantel bumi. Ini membantu mempelajari sejarah geologis bumi dan pola pergerakan lempeng sejak jutaan tahun lalu.

Kehidupan di Sekitar Palung Subduksi

Meskipun zona subduksi berada di lingkungan ekstrem, seperti palung laut yang sangat dalam dan gelap, tetap ada kehidupan di sana. Mikroorganisme khusus yang tahan tekanan tinggi hidup di sekitar ventilasi hidrotermal, yang terbentuk dari panas akibat proses subduksi.

Penemuan ini membuka potensi riset tentang asal usul kehidupan dan juga aplikasi bioteknologi dari mikroorganisme ekstrem tersebut. Tak jarang, organisme ini punya senyawa yang bisa digunakan untuk pengobatan atau industri.

Lempeng Indo-Australia dan Eurasia

Indonesia berada di pertemuan tiga lempeng besar: Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik. Di bagian barat dan selatan Indonesia, Lempeng Indo-Australia menyusup ke bawah Lempeng Eurasia, menciptakan zona subduksi sepanjang barat Sumatra, selatan Jawa, Bali, hingga Nusa Tenggara.

Inilah yang menyebabkan Indonesia sangat rawan terhadap gempa besar dan tsunami. Aktivitas vulkanik juga tinggi karena proses pelelehan litosfer menghasilkan magma yang naik ke permukaan.

Potensi Gempa di Wilayah Indonesia

Banyak ahli memperkirakan bahwa beberapa segmen di zona subduksi Indonesia masih menyimpan energi besar. Segmen-segmen seperti Mentawai, Selatan Jawa, dan Maluku menjadi perhatian khusus karena lama tidak terjadi gempa besar, yang berarti tekanan masih tertahan.

Pemantauan terus dilakukan menggunakan alat seperti GPS, seismometer, dan buoy tsunami untuk mengantisipasi gempa besar berikutnya. Masyarakat pun diimbau untuk selalu waspada dan memperhatikan instruksi resmi jika terjadi gempa.

Dampak Jangka Panjang dari Gempa Subduksi

Perubahan Topografi

Gempa besar bisa mengubah peta geografis secara nyata. Tanah bisa terangkat atau turun, garis pantai bisa bergeser, dan pulau baru bahkan bisa muncul. Di Aceh, daratan Pulau Simeulue naik beberapa meter setelah gempa 2004.

Pemanasan Global dan Gempa Laut Dalam

Meski terdengar tidak berhubungan, beberapa ilmuwan meneliti kemungkinan hubungan antara perubahan iklim dan aktivitas tektonik. Misalnya, pencairan es kutub bisa mengubah tekanan di kerak bumi dan mempengaruhi zona subduksi di dekatnya.

Kesimpulan

Zona subduksi adalah wilayah yang sangat penting dalam dinamika bumi. Ia menyimpan potensi gempa besar dan tsunami yang bisa berdampak luas. Memahami zona ini adalah langkah awal untuk membangun dunia yang lebih tangguh terhadap bencana.

Dengan riset, teknologi, dan kesadaran masyarakat, kita bisa mengurangi risiko dari bencana alam yang tak bisa dihindari. Kesiapsiagaan adalah kunci. Dan seperti pepatah lama: lebih baik mencegah daripada mengobati.

FAQ

1. Apa itu zona subduksi dalam geologi?
Zona subduksi adalah tempat di mana satu lempeng tektonik menyusup ke bawah lempeng lainnya dan masuk ke mantel bumi, memicu aktivitas gempa dan gunung berapi.

2. Mengapa zona subduksi sering memicu tsunami?
Karena gempa di zona ini sering terjadi di bawah laut, dan pergerakan vertikal dasar laut dapat mengangkat air laut dalam jumlah besar.

3. Apakah zona subduksi bisa diprediksi?
Belum bisa diprediksi secara pasti, tapi zona dengan tekanan tinggi dan lama tidak terjadi gempa menjadi kandidat potensial untuk gempa besar.

4. Apa yang harus dilakukan saat terjadi gempa di zona subduksi?
Segera lindungi kepala dan tubuh, keluar dari bangunan jika aman, dan menjauhlah dari pantai jika gempa kuat terjadi di wilayah pesisir.

5. Negara mana yang paling rawan terhadap zona subduksi?
Negara-negara di sekitar Cincin Api Pasifik seperti Jepang, Indonesia, Chili, dan Filipina sangat rawan terhadap gempa dari zona subduksi.

Hubungi Kami Sekarang Juga!

Jangan ragu untuk menghubungi kami jika Anda ingin bertanya ataupun konsultasi terkait kebutuhan pembelian alat sensor gempa Anda! Silahkan kontak kami melalui.

  • Email: info.ins@tac-v.co.jp
  • HP/WA: 0853 1320 0188
  • Alamat: Jalan Boulevard Raya blok PD 9 nomor 12, Kelapa Gading, Jakarta Utara, 14240
Scroll to Top
Open chat
Costumer Support
Halo, ada yang bisa kami bantu?