Gempa bumi adalah salah satu fenomena alam yang paling menakutkan sekaligus membingungkan. Ketika bumi berguncang, kita sering melihat berita yang menyebutkan “gempa bermagnitudo 6,5 Skala Richter” atau “intensitas gempa mencapai VI MMI.” Tapi, apa sebenarnya arti dari semua angka dan huruf ini?
Untuk memahami kedua istilah tersebut, kita harus mulai dengan memahami apa itu gempa bumi. Secara sederhana, gempa bumi adalah getaran atau guncangan di permukaan bumi yang disebabkan oleh pelepasan energi secara tiba-tiba di dalam kerak bumi. Proses ini biasanya terjadi akibat pergerakan lempeng tektonik, letusan gunung api, atau bahkan aktivitas manusia seperti pengeboran minyak atau ledakan besar.
Pengukuran gempa bumi adalah kunci untuk memahami seberapa besar dan seberapa luas dampaknya. Di sinilah dua skala yang paling dikenal berperan: Skala Richter dan Skala MMI. Meski keduanya digunakan untuk mengukur gempa, mereka melakukannya dengan cara yang sangat berbeda dan dengan tujuan yang juga berbeda.
Skala Richter mengukur magnitudo, atau seberapa besar energi yang dilepaskan oleh gempa. Sedangkan Skala MMI mengukur intensitas, yakni bagaimana gempa tersebut dirasakan oleh manusia dan kerusakan apa yang ditimbulkannya di permukaan bumi. Dengan kata lain, Skala Richter berbicara tentang “kekuatan,” sementara Skala MMI lebih fokus pada “dampak.”
Bayangkan Anda mendengar dua orang berbicara tentang badai. Satu orang mungkin berkata, “badai ini punya kecepatan angin 150 km/jam,” sementara yang lain berkata, “badai ini merobohkan pohon dan merusak rumah di lingkungan saya.” Kedua orang ini berbicara tentang badai yang sama, tetapi dari dua perspektif yang berbeda—satu ilmiah, satu pengalaman nyata. Begitulah perbedaan antara Skala Richter dan Skala MMI.

Table of Contents
ToggleMemahami Skala Richter
Skala Richter adalah salah satu cara paling umum dan klasik yang digunakan untuk mengukur kekuatan gempa bumi. Skala ini dikembangkan oleh Charles F. Richter pada tahun 1935 sebagai metode untuk mengukur magnitudo gempa di California, AS. Tujuan awalnya adalah untuk memberikan ukuran kuantitatif terhadap energi yang dilepaskan oleh gempa bumi.
Magnitudo dalam Skala Richter dihitung berdasarkan amplitudo maksimum gelombang seismik yang tercatat oleh seismograf, dikoreksi terhadap jarak antara alat dengan pusat gempa. Skala ini bersifat logaritmik, yang berarti setiap peningkatan satu angka dalam skala mencerminkan peningkatan energi sekitar 32 kali lipat. Misalnya, gempa bermagnitudo 6 melepaskan energi 32 kali lebih besar dibandingkan gempa bermagnitudo 5.
Contoh Konkrit:
-
Gempa 3 SR mungkin hanya terasa sebagai getaran ringan dan tidak menimbulkan kerusakan.
-
Gempa 5 SR bisa menyebabkan kerusakan kecil pada bangunan yang tidak kuat.
-
Gempa 7 SR dapat merobohkan bangunan dan menyebabkan kerusakan besar serta korban jiwa.
Meskipun sangat berguna, Skala Richter memiliki keterbatasan. Ia tidak terlalu akurat untuk gempa yang sangat besar (di atas magnitudo 7) dan kurang ideal untuk digunakan secara global karena awalnya dirancang hanya untuk wilayah California. Seiring waktu, para seismolog mulai menggunakan skala magnitudo momen (moment magnitude scale – Mw) sebagai pengganti Skala Richter untuk mengukur gempa besar secara lebih akurat.
Namun, istilah “Skala Richter” tetap populer dan masih sering digunakan di media serta laporan publik karena lebih dikenal masyarakat umum.
Sejarah dan Pengembangan Skala Richter
Skala Richter pertama kali diperkenalkan oleh seismolog asal Amerika Serikat, Charles Francis Richter, bersama koleganya Beno Gutenberg pada tahun 1935. Mereka mengembangkan skala ini di Institut Teknologi California (Caltech) sebagai bagian dari upaya untuk menstandarisasi pengukuran gempa bumi di wilayah California Selatan, yang sering dilanda gempa.
Tujuan utama Richter adalah menciptakan satu sistem numerik yang dapat digunakan untuk mengukur “besar kecilnya” gempa bumi. Sebelum Skala Richter, tidak ada metode yang baku untuk membandingkan satu gempa dengan gempa lainnya. Beberapa pengukuran dilakukan secara subjektif dan berdasarkan pengamatan individu. Hal ini menyulitkan ilmuwan dalam melakukan analisis dan perbandingan antara kejadian gempa di berbagai tempat dan waktu.
Richter menetapkan bahwa skala ini bersifat logaritmik, artinya setiap peningkatan satu angka berarti sepuluh kali lipat peningkatan dalam amplitudo gelombang seismik yang tercatat. Bahkan lebih mengejutkan lagi, peningkatan satu angka di Skala Richter mencerminkan peningkatan energi sekitar 32 kali lipat. Jadi, gempa berkekuatan 6 SR adalah 32 kali lebih kuat dari gempa 5 SR, dan 1000 kali lebih kuat dari gempa 4 SR. Ini menunjukkan betapa dahsyatnya skala logaritmik dalam menggambarkan kekuatan gempa.
Skala Richter awalnya hanya dapat diterapkan secara akurat pada gempa lokal dengan jarak kurang dari 600 km dari seismograf dan magnitudo kurang dari 7. Untuk mengatasi keterbatasan ini, ilmuwan modern kini lebih sering menggunakan Skala Magnitudo Momen (Mw), yang memberikan estimasi lebih akurat terhadap energi total gempa bumi. Namun demikian, istilah “Skala Richter” masih sangat dikenal oleh publik dan tetap digunakan secara luas dalam berita dan komunikasi awam.
Cara Kerja Skala Richter
Cara kerja Skala Richter sangat erat kaitannya dengan penggunaan alat seismograf, yaitu instrumen yang merekam getaran tanah saat terjadi gempa. Ketika gelombang seismik merambat dan mencapai seismograf, alat ini mencatat gerakan tersebut dalam bentuk grafik yang disebut seismogram. Dari grafik inilah, ilmuwan menghitung magnitudo gempa.
Proses penghitungan melibatkan beberapa langkah:
-
Mencatat Amplitudo Maksimum: Ini adalah tinggi gelombang seismik pada seismogram.
-
Menentukan Jarak ke Episenter: Dihitung dari selisih waktu antara gelombang primer (P) dan gelombang sekunder (S).
-
Menggunakan Nomogram: Sebuah grafik logaritmik yang memungkinkan ilmuwan menghubungkan amplitudo dan jarak untuk menentukan magnitudo gempa.
Sebagai contoh, jika amplitudo maksimum tercatat 10 mm pada seismograf dan jarak ke episenter sekitar 100 km, maka magnitudo yang dihitung mungkin berada pada angka 5 SR. Dengan banyaknya seismograf yang tersebar di seluruh dunia saat ini, para ahli dapat membandingkan data dari berbagai lokasi untuk memastikan keakuratan magnitudo yang dilaporkan.
Hal yang perlu dipahami adalah bahwa Skala Richter hanya memberi tahu kita tentang seberapa besar energi yang dilepaskan di bawah tanah, bukan seberapa parah dampak yang dirasakan di permukaan. Inilah yang menjadi alasan mengapa gempa dengan magnitudo sama bisa berdampak berbeda tergantung pada kedalaman gempa, kondisi tanah, serta kepadatan dan ketahanan bangunan di wilayah terdampak.
Kelebihan dan Keterbatasan Skala Richter
Skala Richter menjadi alat revolusioner dalam dunia seismologi. Namun seperti teknologi lainnya, ia memiliki kelebihan dan keterbatasan.
Kelebihan:
-
Kuantitatif dan Objektif: Skala Richter memberikan angka pasti yang memungkinkan perbandingan antar-gempa.
-
Bersifat Logaritmik: Memungkinkan pengukuran berbagai tingkat kekuatan dari yang sangat kecil hingga besar.
-
Cepat dan Relatif Mudah Dihitung: Dengan alat seismograf dan perhitungan standar, magnitudo bisa ditentukan dalam waktu singkat.
Keterbatasan:
-
Terbatas untuk Gempa Kecil dan Lokal: Kurang akurat untuk gempa besar (di atas 7 SR) dan gempa yang terjadi jauh dari lokasi seismograf.
-
Tidak Menggambarkan Dampak Nyata di Permukaan: Tidak memperhitungkan intensitas atau kerusakan yang ditimbulkan.
-
Tergantung pada Alat: Pengukuran bisa bervariasi tergantung jenis dan sensitivitas seismograf.
Dalam praktik modern, Skala Richter sering kali dikombinasikan atau digantikan dengan skala lain, seperti Skala Magnitudo Momen (Mw), terutama untuk gempa bumi besar atau yang terjadi di laut dalam. Namun, karena Skala Richter sudah lama digunakan dan dikenal luas oleh masyarakat, ia tetap menjadi bagian penting dalam komunikasi bencana.
Asal Usul dan Pengembangan Skala MMI
Skala MMI berakar dari skala Mercalli yang pertama kali dikembangkan oleh seorang pendeta sekaligus ilmuwan asal Italia, Giuseppe Mercalli, pada tahun 1884. Versi awal skala ini sangat sederhana dan bersifat subjektif, karena hanya mengandalkan deskripsi dari apa yang dirasakan manusia saat terjadi gempa. Skala ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Adolfo Cancani dan August Heinrich Sieberg, hingga akhirnya dimodifikasi oleh Harry O. Wood dan Frank Neumann di Amerika Serikat menjadi Modified Mercalli Intensity (MMI) pada tahun 1931.
Versi MMI yang kita kenal saat ini menggunakan angka Romawi dari I hingga XII, masing-masing mewakili tingkat intensitas yang dirasakan. Berbeda dari Skala Richter yang mengukur energi gempa secara objektif, Skala MMI mengukur bagaimana gempa mempengaruhi orang-orang, bangunan, dan lingkungan di sekitar episenter. Maka dari itu, skala ini lebih bersifat kualitatif dan deskriptif.
Misalnya, intensitas I MMI berarti gempa tidak dirasakan kecuali oleh alat-alat seismograf yang sangat sensitif. Sementara XII MMI menandakan kehancuran total, termasuk tanah yang retak, jembatan yang runtuh, dan bahkan kemungkinan perubahan pada aliran sungai atau bentuk geografis.
Keunggulan dari skala ini adalah kemampuannya untuk menyampaikan pengalaman nyata masyarakat terhadap gempa. Dengan begitu, pihak berwenang dapat mengukur seberapa besar dampak sosial dan fisik dari suatu gempa, yang tentunya sangat penting dalam penanganan bencana.
Bagaimana Skala MMI Mengukur Intensitas Gempa?
Berbeda dari Skala Richter yang mengandalkan angka hasil kalkulasi alat, Skala MMI mengandalkan laporan dari masyarakat serta observasi lapangan. Pengukuran intensitas dilakukan berdasarkan hal-hal seperti:
-
Apakah gempa dirasakan oleh banyak orang?
-
Apakah benda terguncang atau terjatuh?
-
Apakah ada kerusakan pada bangunan? Jika ya, seberapa parah?
-
Apakah terjadi retakan pada jalan atau tanah?
Data ini biasanya dikumpulkan oleh badan-badan seperti BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika) di Indonesia melalui survei atau laporan masyarakat. Saat gempa besar terjadi, BMKG akan merilis peta intensitas MMI yang menunjukkan wilayah mana saja yang merasakan getaran dan seberapa besar getaran tersebut.
Sebagai contoh:
-
III MMI: Terasa jelas dalam rumah. Getaran seolah-olah ada truk besar lewat.
-
V MMI: Benda ringan terguling, jendela dan pintu berderak.
-
VII MMI: Banyak bangunan ringan rusak, beberapa rumah retak.
-
X MMI: Banyak bangunan roboh total, infrastruktur rusak berat.
Karena skala ini memperhitungkan kondisi nyata di permukaan, maka intensitas gempa yang sama bisa berbeda dari satu lokasi ke lokasi lain. Inilah kelebihan utama Skala MMI dalam memberikan gambaran lebih akurat mengenai dampak sosial dan ekonomi dari suatu gempa.
Perbandingan Nilai Skala MMI dengan Skala Richter
Seringkali kita melihat laporan gempa yang menyebutkan kedua skala secara bersamaan: “Gempa magnitudo 6,2 SR dengan intensitas maksimal VIII MMI.” Di sinilah pentingnya memahami bagaimana kedua skala ini berbeda namun saling melengkapi.
Magnitudo (SR) | Perkiraan Intensitas MMI | Dampak Umum |
---|---|---|
3 – 3.9 | II – III | Terasa ringan, tidak merusak |
4 – 4.9 | IV – V | Getaran terasa jelas, benda-benda bergoyang |
5 – 5.9 | VI – VII | Kerusakan ringan pada bangunan lemah |
6 – 6.9 | VII – IX | Kerusakan signifikan, orang panik |
7 – 7.9 | VIII – X | Banyak bangunan rusak berat |
8+ | X – XII | Kerusakan luas, potensi tsunami |
Namun penting untuk dicatat bahwa hubungan antara magnitudo dan intensitas tidak selalu linear. Dua gempa dengan magnitudo yang sama bisa menghasilkan intensitas yang berbeda tergantung pada:
-
Kedalaman gempa (semakin dalam, biasanya getarannya lebih lemah di permukaan)
-
Jarak ke episenter
-
Jenis tanah (tanah lunak memperkuat getaran)
-
Konstruksi bangunan
Sebagai ilustrasi, gempa berkekuatan 6 SR di wilayah padat dengan bangunan lemah bisa menghasilkan intensitas IX MMI dan kerusakan besar, sementara gempa 6 SR di tengah laut mungkin hanya menghasilkan intensitas IV MMI di daratan dan tidak menimbulkan kerusakan sama sekali.
Perbandingan ini menekankan bahwa kedua skala harus dipahami sebagai bagian dari satu kesatuan informasi, bukan sebagai indikator yang berdiri sendiri.
Perbedaan Utama Antara Skala Richter dan Skala MMI
Memahami perbedaan antara Skala Richter dan Skala MMI sangat penting untuk menafsirkan laporan gempa dengan tepat. Meskipun sering digunakan bersama, keduanya memiliki fokus dan metodologi yang berbeda secara mendasar.
Parameter yang Diukur
-
Skala Richter mengukur energi atau kekuatan gempa di bawah permukaan bumi. Ini adalah ukuran fisik dan objektif yang dapat diulang di mana pun.
-
Skala MMI mengukur intensitas atau dampak yang dirasakan di permukaan, dan bisa berbeda-beda tergantung lokasi. Ini adalah ukuran subjektif dan observasional.
Skala Kuantitatif vs Kualitatif
-
Richter adalah skala kuantitatif: setiap angka memiliki arti matematis yang tepat (logaritmik).
-
MMI adalah skala kualitatif: berdasarkan pengamatan manusia dan kerusakan yang terjadi, bukan angka absolut.
Cakupan dan Tujuan
-
Skala Richter cocok digunakan untuk menentukan ukuran gempa secara umum di wilayah luas dan sebagai perbandingan antar-gempa.
-
Skala MMI lebih cocok untuk menentukan tingkat kerusakan lokal dan dampak sosial dari gempa.
Contoh Perbedaan dalam Aplikasi
Misalnya, dua gempa masing-masing berkekuatan 6 SR:
-
Gempa A terjadi di daerah terpencil, jauh dari permukiman: MMI mungkin hanya V.
-
Gempa B terjadi di daerah padat penduduk dengan bangunan tidak tahan gempa: MMI bisa mencapai IX.
Dengan kata lain, Skala Richter membantu para ilmuwan memahami apa yang terjadi di dalam bumi, sedangkan Skala MMI membantu pemerintah dan masyarakat memahami apa yang terjadi di atas bumi.
Relevansi dalam Kajian Seismologi Modern
Di era teknologi canggih dan data real-time, Skala Richter dan Skala MMI tetap menjadi komponen penting dalam kajian seismologi modern. Meskipun Skala Richter secara teknis telah banyak digantikan oleh Skala Magnitudo Momen (Mw), konsep dasar dan penggunaannya masih menjadi acuan dalam pendidikan dan komunikasi publik. Demikian pula, Skala MMI tetap menjadi standar global dalam menggambarkan dampak langsung gempa terhadap manusia dan infrastruktur.
Ilmuwan dan peneliti gempa kini tidak hanya bergantung pada satu skala saja. Mereka memanfaatkan kombinasi antara data magnitudo (SR atau Mw), intensitas (MMI), kedalaman, serta analisis geologi lokal untuk membangun gambaran menyeluruh tentang dampak dan risiko suatu gempa bumi. Pendekatan ini sangat penting dalam mitigasi bencana, perencanaan kota, dan pembangunan bangunan tahan gempa.
Penggunaan sistem informasi geografis (GIS), satelit, dan drone juga mendukung pengumpulan data intensitas secara lebih cepat dan akurat. Dengan bantuan teknologi tersebut, para ahli dapat memetakan zona dampak dalam hitungan menit, yang sangat krusial untuk operasi evakuasi dan penyelamatan.
Aplikasi Praktis Kedua Skala dalam Kehidupan Sehari-hari
Penggunaan oleh Badan Meteorologi dan Geofisika
Di Indonesia, BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika) adalah lembaga resmi yang memantau dan melaporkan aktivitas gempa bumi. Setiap kali terjadi gempa, BMKG akan merilis laporan awal yang mencakup:
-
Waktu kejadian
-
Lokasi dan kedalaman episenter
-
Magnitudo (SR atau Mw)
-
Intensitas MMI di berbagai wilayah
-
Potensi tsunami jika ada
Informasi ini biasanya diperbarui beberapa kali untuk meningkatkan akurasi. Dalam situasi darurat, kecepatan dan keakuratan informasi sangat penting untuk menentukan respons masyarakat dan pihak berwenang.
Kesimpulan
Skala Richter dan Skala MMI adalah dua alat penting dalam memahami gempa bumi. Keduanya memiliki fungsi yang berbeda namun saling melengkapi: Skala Richter memberi tahu kita seberapa besar energi gempa yang dilepaskan, sementara Skala MMI memberi gambaran bagaimana gempa itu dirasakan dan berdampak terhadap kehidupan sehari-hari.
Mempelajari dan memahami kedua skala ini bukan hanya penting bagi para ilmuwan dan pejabat pemerintah, tetapi juga bagi kita semua. Dengan informasi yang benar dan pemahaman yang baik, kita dapat menjadi lebih waspada, siap, dan tangguh menghadapi ancaman gempa bumi.
FAQ (Pertanyaan yang Sering Diajukan)
1. Apakah Skala Richter masih digunakan hari ini?
Ya, meskipun Skala Magnitudo Momen (Mw) kini lebih sering digunakan oleh para ahli, Skala Richter masih digunakan dalam laporan publik karena lebih dikenal masyarakat luas.
2. Mengapa dua tempat bisa merasakan intensitas gempa yang berbeda meskipun magnitudonya sama?
Karena intensitas gempa tergantung pada kedekatan dengan episenter, kondisi tanah, dan struktur bangunan di wilayah tersebut.
3. Apa yang harus dilakukan saat gempa dengan intensitas tinggi terjadi?
Segera berlindung di bawah meja yang kuat, jauhi kaca dan benda berat yang bisa jatuh, dan setelah gempa selesai, segera keluar ke tempat terbuka.
4. Apa perbedaan utama antara Skala MMI dan Skala Richter?
Skala MMI mengukur dampak dan pengalaman gempa di permukaan bumi, sementara Skala Richter mengukur kekuatan gempa dari dalam bumi.
5. Apakah gempa besar selalu menyebabkan kerusakan besar?
Tidak selalu. Gempa besar yang terjadi di laut dalam atau jauh dari permukiman bisa berdampak kecil di permukaan, tergantung banyak faktor seperti kedalaman dan struktur tanah.